Haramkah Nikah Paksa?


Kaum hawa tentu kurang suka membaca judul tersebut. Manusia memang ingin bebas, termasuk bebas memilih pasangan. Akan tetapi, sebagai muslim, keinginan tak baik dinomorsatukan. MUSYAWARAH itu budaya / tradisi yang diajarkan Islam. Dalam pernikahan banyak pihak yang terlibat, jadi jangan egois karena kita hidup tak sendirian.

Berbicara soal hukum, dalam islam sudah ada dasar hukumnya, yaitu Al Quran dan Al Hadits. Akan tetapi, kemampuan manusia untuk memahami naskah dan suatu perkara--terutama kita di jaman sekarang--tidak sempurna. Al Quran dan Al Hadits memang mutlak kebenarannya, tapi cara manusia memahami beda-beda. Bahkan para sahabat yang hidup bersama Rasulullah saw. pun juga kadang berselisih mengenai suatu perkara. Begitulah manusia.

hukum nikah paksa, hukum perjodohan paksa, kawin paksa


Jadi, jangan seenaknya bilang, "Baca Quran, baca Hadits..!!!",,, Memangnya sudah seberapa mumpuni kemampuan memahaminya / pemahamannya terhadap agama? Lihat dan pelajarilah penjelasan sahabat, ulamak tabiin, tabiut tabiin, serta ulamak-ulamak yang kemudian tentang suatu ayat dan hadits tersebut.

Di pesantren banyak diajarkan kitab-kitab karangan para ulamak. Termasuk tentang HUKUM NIKAH PAKSA ini tercantum dalam kitab Fat-hul Qorib karya Al-Imam Asy-Syeikh Muhammad bin Qasim Al Ghazy.

Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa orang tua (wali) boleh memaksa anak perempuannya menikah dengan beberapa syarat. Banyak orang tua yang memutlakkan kebenaran suatu pendapat seorang ulamak. "Sudah tertulis dalam kitab. Pasti benar...!!" Begitu. Akan tetapi, ulamak tidak satu, kitab juga tidak satu. Orang tua juga perlu mempertimbangkan manfaat dan dampak buruknya.

Imam Malik dan Imam Syafii serta riwayat dari Imam Ahmad membolehkan pernikahan paksa. Alasan pendapat ini adalah hadist di atas bahwa kalau janda lebih berhak atas dirinya, maka artinya orang tua lebih berhak atas anak gadisnya.

Kemudian juga hadist yang mengatakan “seorang gadis datang ke Rasulullah s.a.w. mengadu kepada Rasulullah bahwa ayahnya menikahkannya dengan seseorang yang ia tidak menyukainya, lalu Rasulullah s.a.w. memberinya pilihan (boleh melanjutkan dan boleh menolak)” (Hr. Abud Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad). Rasulullah memberinya pilihan, itu menunjukkan bahwa nikahnya sah.

Ada juga riwayat hadist tersebut dengan redaksi “gadis walinya lah yang menikahkannya” (HR. Daraqutni)
Pendapat kedua gadis dan janda yang baligh aqil sama sekali tidak boleh dipaksa menikah dan nikah paksa hukumnya tidak sah. Pendapat ini berlandas pada hadist riwayat Bukhari Muslim “Seorang gadis Tidak boleh dinikahi hingga mendapatkan persetujuannya, begitu juga seorang janda tidak boleh dinikahi hingga mendapatkan persetujuannya. Seorang sahabat bertanya “bagaimana mengetahui persetujuannya (umumnya mereka malu)?” Rasulullah s.a.w. menjawab “Izinnya adalah ketika ia diam dan tidak menolak”. Shan’ani penulis kitab Subulus Salam Syarah Bulughul Maraam bahwa hadist ini juga menunjukkan kaharaman nikah paksa. 
Kembali kepada mazhab Syafii yang mengatakan bahwa nikah paksa hukumnya sah, kalau ditelusuri lebih jauh dari kitab-kitab mazhab Syafii kita menemukan bahwa pendapat tersebut tidak mutlak. Artinya ada syarat-syarat tertentu yang menjadikan nikah paksa sah. Seperti ditegaskan dalam kitab Hasyiah Bujairami dan kitab al-Iqna’ karangan Khatib Al-Syarbini bahwa seorang ayah atau kakek bisa menikahkan anak gadisnya tanpa persetujuan dengan ketentuan sebagai berikut: 
1. Tidak ada permusuhan antara ayah dan gadis tersebut. Artinya tidak terbukti ada unsur penganiayaan dan kepentingan sepihak dalam pernikahan tersebut;
2. Sang ayah menikahkanya dengan orang yang sepadan dengannya (kafa’ah).
3. Ayah menikahkannya dengan mahar mitsil (yaitu senilai mahar atau lebih mahal dari mahar yang diterima ibu sang gadis);
4. Mahar harus dengan valuta yang berlaku di negeri dimana mereka hidup;
5. Suaminya harus mampu membayar mahar tersebut;
6. Ayah tidak menikahkanya dengan seseorang yang membuat gadis tersebut menderita, misalnya seorang yang buta atau orang yang sudah tua;
7. Gadis tersebut belum wajib melaksanakan haji, karena kalau sudah wajib akan tertunda hajinya oleh pernikahan tersebut;
Ulama Wali Iraqi menambahkan satu syarat lagi, yaitu tidak ada permusuhan antara gadis dan lelaki yang dinikahkan dengannya.
Sumber http:// www.piss-ktb com baca referensi serupa di sini
____
Berikut juga
Dalam pernikahan ada syarat-syarat yang wajib dipenuhi. Salah satunya adalah kerelaan calon isteri. Wajib bagi wali untuk menanyai terlebih dahulu kepada calon isteri, dan mengetahui kerelaannya sebelum diaqad nikahkan. Perkawinan merupakan pergaulan abadi antara suami isteri. Kelanggengan, keserasian, persahabatan tidaklah akan terwujud apabila kerelaan pihak calon isteri belum diketahui. Islam melarang menikahkan dengan paksa, baik gadis atau janda dengan pria yang tidak disenanginya. Akad nikah tanpa kerelaan wanita tidaklah sah. Ia berhak menuntut dibatalkannya perkawinan yang dilakukan oleh walinya dengan paksa tersebut (Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 7).
Habibah binti Sahl datang kepada Rasulullah SAW. Dia berkata, “Kalau bukan karena takut kepada Allah ketika dia masuk, niscaya sudah kuludahi mukanya.”

Habibah mengungkapkan kekecawaannya pada Rasul, “Ya Rasulullah, aku mempunyai wajah yang cantik sebagaimana engkau lihat, sedang Tsabit adalah laki-laki yang buruk rupanya.” Inilah yang telah membuat Habibah tidak bisa sepenuhnya menerima Tsabit sebagai suaminya, tentu masih dengan masalah klasik : wajah.

“Wahai Rasulullah, kepalaku tidak dapat bertemu dengan kepala Tsabit selamanya. Aku pernah menyingkap kemah, lalu aku melihat dia sedang bersiap-siap, ternyata ia sangat hitam kulitnya, sangat pendek tubuhnya, dan sangat buruk wajahnya. Ya Rasulullah, aku tidak mencela akhlak maupun agama suamiku. Tapi aku tidak menyukai kekufuran dalam Islam,” tukas Habibah.
Rasulullah SAW bertanya, “Maukah engkau mengembalikan kebun pemberian suamimu?”
Habibah menjawab, “Ya,”
Maka Rasulullah SAW bersabda, “Terimalah kebun itu hai Tsabit, dan jatuhkanlah talak satu kepadanya!”
di https://lordbroken wordpress com
__
Tidak boleh menikahkan seorang janda sebelum dimusyawarahkan dengannya dan tidak boleh menikahkan anak gadis (perawan) sebelum meminta izin darinya. Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, bagaimana mengetahui izinnya? Beliau menjawab, Dengan ia diam. (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 1419)
__
Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan maka ayahnya harus meminta persetujuan dari dirinya. Dan persetujuannya adalah diamnya. (HR. Muslim no. 1421)
___
Bukankah jiwa tdak saling mengenal akan cpat berselsih, sedangkan jwa yg sdah mengenal ia akan senantiasa lunak sbn sabda nabiوالارواح جنود مجندة ما تعارف منها dan brikutx ( HR.BUKHARI dan MUSLIM)

Semoga mendapat petunjuk-Nya

sumber:
http://www.piss-ktb.com/2012/04/1425-menikah-dengan-mengangkat-muhakkan.html
http://santri.net/fiqih/fiqih-nikah/hukum-kawin-lari/
http://ilmu-syariat-mdm.blogspot.com/2013/06/026-kawin-lari.html

______________________________________________________________

1 comment:

Post a Comment